Forum Kebersamaan Image MDC Bintaro

Tuesday, August 29, 2006

Profil Wanita Karir

Valina Singka Subekti

Wanita kelahiran Singkawang Kalimantan Barat yang dibesarkan di Jakarta ini, menjalani sekolah sepanjang hari. Pagi hari di sekolah umum dan sore hari di madrasah ibtidaiyah. Keluarganya yang aktif berorganisasi dan kuat dalam pendidikan keagamaan membentuk kepribadian Dra. Valina Singka Subekti, MSi.

Tahun 1977-1978, saat SMA, Valina terpilih mengikuti program pertukaran pelajar Indonesia-Amerika Serikat (American Field Service AFS). Saat kuliah di FISIP UI Jurusan Ilmu Politik, selain aktif di organisasi kehamasiswaan intra juga menjadi asisten dosen dan wartawan Harian Pikiran Rakyat. Di luar kampus, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjabat sebagai Ketua Umum KOHATI (Korps HMI-WATI) cabang Jakarta 1981-1982, serta pernah masuk ke jajaran Pengurus Besar PB HMI 1981-1982.

Tahun 1985, Valina lulus dari FISIP UI dengan predikat sarjana terbaik dan kemudian diangkat sebagai staf pengajar tetap Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. Gelar magister ilmu politik diperoleh dari Program Pascasarjana UI pada tahun 1996. Selain mengajar, Valina juga memimpin Laboratorium Ilmu Politik (LabPol) FISIP UI mulai 1998. Situasi perubahan politik di Indonesia yang berkembang sangat cepat yang berujung pada lengsernya mantan presiden Soeharto, mendorong LabPol melakukan berbagai penelitian, penerbitan dan pendidikan politik.

Menjelang pemilu 1999, Valina memandu acara talk show 'Wacana Pemilu' Stasiun ANteve yang merupakan program Universitas Indonesia untuk melakukan pendidikan politik masyarakat. Sampai saat ini ia masih menyempatkan diri menjadi pembicara di berbagai acara diskusi dan seminar, serta menulis di berbagai media massa. Sesuai dengan minatnya dalam berorganisasi Valina juga aktif di organisasi kemasyarakatan Wanita Syarikat Islam, yang mengantarkannya menjadi anggota MPR RI tahun 1999.

Valina merasa mendapat penghargaan dari Fraksi Utusan Golongan ketika terpilih menjadi anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI karena melalui media itu dapat memberi kontrobusi pikiran sesuai bidang ilmu yang ditekuninya dalam mengamandemenkan UUD 1945. Dengan berbagai kesibukan yang menyita waktunya itu, meskipun berat, Valina tetap berusaha menjaga keseimbangan perannya sebagai ibu dari tiga orang anak yang menjelang remaja.

Sekali lagi, Valina merasa mendapat kehormatan ketika Komisi II DPR RI melalui fit and proper test memilihnya menjadi salah satu dari 11 anggota KPU yang baru. Dan karena itu ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di MPR RI agar bisa lebih berkonsentrasi di KPU. (ma2n dari berbagai sumber)

Biodata

Nama:
Valina Singka Subekti
Lahir:
Singkawang, 6 Maret 1961
Agama:
Islam
Pendidikan:
- Sarjana Ilmu Politik FISIP UI, (1985)
- Magister Sains Ilmu Politik Fakultas Pasca Sarjana UI, (1996)
- Peserta Program Doktor Ilmu Politik UI
Penelitian:
- Partai Syarikat Islam Indonesia: Analisa Perkembangan Internal Periode Menjelang Fusi Politik 1971-1973, (1985)
- Hubungan Bisnis Cina dan Politik pada Masa Orde baru, (1996)
- Peta Profil Politik Calon Anggota DPRD DKI Jakarta 1997-2002, (1997)
- Penilaian Anggota DPRD DKI Jakarta 1992-1997 terhadap Pengelolaan Masalah-masalah Jakarta oleh DPRD DKI, (1997)
- Kajian Rancangan Undang-undang Politik, (1998)
- Evaluasi dan Prediksi Politik 1998-1999, (1998)
- Feminisme dalam Islam, Penelitian Kerjasama Republika dan Asia Foundation (1998- )
- Survei Nasional Perilaku Pemilih 1999, (1999)
Organisasi dan Karir Penting:
- Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI, (1981-1983)
- Ketua I KOHATI Cabang Jakarta, (1981-1982)
- Ketua Umum KOHATI Cabang Jakarta, (1982-1984)
- Kornas KOHATI PB HMI, (1984-1985)
- Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pengurus BP4 Pusat, (1996-1998)
- Ketua Bidang Humas dan Luar Negeri PP Wanita Syarikat Islam, (1998- )
- Wakil Bendahara Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, (1997-2000)
- Pemandu, Acara Talk Show Wacana Pemilu, ANteve, (1999)
- Penanggungjawab Diskusi Politik Mingguan Tim Realisasi Pendidikan Politik Universitas Indonesia, (1999)
- Penanggungjawab Acara Talk Show Radio di 50 Kabupaten, (1999)
- Penanggungjawab berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Laboratorium limu Politik FISIP UI, (1998)
- Wartawan Harian Pikiran Rakyat Bandung Perwakilan Jakarta, (1983-1987)
- Sekretaris Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, (1989-1991)
- Wakil Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, (1997-1998)
- Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, (1998- )
- Staf Pengajar Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, (1987- )
- Staf Pengajar Program Ekstension Jurusan Ilmu Politik FISIP-UI, (1997- )
- Anggota Panitia Pengembangan Penelitian FISIP UI, (1999)
- Sekretaris Tim Realisasi Pendidikan Politik Masyarakat, (1999- )
- Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan, (1999-2004)
- Anggota Badan Pekerja MPR-RI, (1999-2004)
- Anggota Komisi Pelimihan Umum (KPU) 2004, (2001-2004)






Berliana Handeslani: PR DAN KARAKTER MANUSIA

Dunia Marketing dan Public Relations, memang tak jauh beda. Kalau toh itu ada, bedanya sangat tipis. Oleh karena itu bagi Berliana Hardeslani, Public Relations Sony Center, tidak ada masalah, ketika harus bertugas sebagai PR di X-Plod Center, sebuah butik Sony yang khusus melayani jasa konsultasi dan pemasangan audio car systems. Gerai Sony yang didesain unik tersebut terletak di Kawasan Sudirman Central Business District Center (SCBD). Lani, demikian panggilan akrab lajang campuran China – Minangkabau ini mengaku enjoy menjalankan tugas barunya di butik sound system Sony yang pertama kali di buka di Indonesia tersebut. “Justru aktivitas ini menjadi tantangan saya untuk memperkenalkan audio systems Sony, khususnya butik X-plod,” katanya.
Pengalaman sebagai tenaga marketing car audio selama lima tahun, telah menjadikan lajang berusia 26 tahun tersebut piawai di urusan seperti tape mobil, amplifier, speaker dan sebagainya. Kecintaannya pada dunia otomotif juga mendukung tugas barunya. Lani mengaku, semula dia hanya ingin membantu usaha ayahnya yang kebetulan juga berbisnis audio di Auto Mall SCBD.

Tapi, ternyata, dunia marketing tersebut sangat mengasyikkan. Selain berhubungan erat dengan produk, penyuka band Peterpan ini juga bisa berhubungan dengan beberapa customer. “Aku jadi bisa belajar banyak mengenai karakteristik orang, ya lewat hubungan interpersonal seperti ini,” ujarnya renyah.
Kedepannya, Lani akan berupaya terus untuk mensosialisasikan X-plod Center. Tentu saja lewat aktivitas above the line maupun bellow the line. Beberapa acara telah dirancangnya, antara lain aktivitas outdoor yang melibatkan banyak khalayak. Demo audio atawa kontes, mungkin akan sering dilakukan di beberapa tempat. Termasuk juga nantinya demo di media audio visual.

Sony audio car, kini memang menggarap serius pasar Indonesia. Langkah ini dilakukan mengingat pertumbuhan pasar otomotif yang cukup signifikan. Dan, tentunya potensi ini merupakan lahan yang subur bagi produk-produk car audio, termasuk Sony. Keseriusan ini ditunjukkan dengan membangun butik khusus yang melayani para customer Sony. “Jakarta sebagai pilot project nya. Dan, mungkin akan menyusul kota-kota lainnya,” ujar penyuka musik pop ini.

Selain itu, tugas lain yang tak kalah beratnya di bidang PR, yakni berupaya untuk meyakinkan kepada para diler-diler Sony di Indonesia bahwa X-plod Center bukanlah kompetitor bagi toko-toko car audio Sony. Iya lah. (Rian S).




Linda & Enam Boss

Mungkinkah memiliki pimpinan yang berbeda-beda dalam jangka waktu enam tahun, tanpa perlu berganti jabatan atau pindah ke perusahaan lain? Mungkin saja! Dan, Linda Tulung, Marketing Manager PT CA Indonesia, telah membuktikannya. Bergabung dengan perusahaan worldwide yang bergerak dalam bidang software ini medio 2000 lalu, mantan Channel Marketing Sysco System ini merasa sangat tertantang ketika harus menghadapi para pimpinan CA yang berdarah Cina, Melayu (baca: Malaysia), India, dan Eropa (baca: Belgia) meski mereka berwarga negara Singapura.

“Tantangan dan kenikmatannya sama dengan pindah kerja keenam perusahaan yang berbeda tapi bergerak di bidang yang sama. Sangat dinamis! Selain itu, dengan menyerap kelebihan mereka masing-masing baik di bidang managerial, marketing, konsep dan strategi, maupun pelaksanaan, kami dibuat menjadi lebih pintar. Unik dan tidak membosankan!” kata istri seorang dokter ini.

Namun, tidak berarti tidak pernah terjadi gesekan. Sebab, Linda melanjutkan, bila dalam kurun waktu tertentu berkutat pada satu bos, kemudian pada kurun waktu berikutnya berhadapan dengan bos yang lain, mau tidak mau akan terjadi masa transisi yang memacunya untuk lebih aktif sehingga menemukan titik temu. “Tapi ini bukan beban, melainkan tantangan,” ujar alumni FE-UI jurusan marketing yang juga memperdalam ilmu marketing melalui kursus di Universitas Harvard ini.

Di samping itu, pada dasarnya, bidang IT hanya dihuni oleh orang-orang yang sama. “Masing masing vertical business mempunyai orang-orang yang compatible di bidangnya. Jadi, kalau mereka mau play around ya di situ-situ saja dan kami pun merasa lebih saleable di dalam industri yang kami merasa sudah expert,” ucap ibu satu anak ini.

Di sisi lain, wanita yang mengaku perfeksionis dan tidak mudah menyerah ini juga ingin explore ke vertical industry agar lebih pintar atau tidak hanya menguasai satu bidang. “Cuma, nanti yang meng-hire kami mau nggak atau bisa nggak menolerir kami yang proses pembelajaran atau pengenalannya lebih lambat daripada mereka yang sudah biasa di bidang tersebut. Kalau bisa dan mau, ya kami fine saja. Sebab, bagi profesional seperti kami pada awalnya mungkin agak lambat, tapi begitu sudah memahami, kami akan dapat menyamai kecepatan mereka yang sudah terbiasa di bidang itu.

Tapi, seperti kita tahu setiap perusahaan akan menghadapkan kita pada target kuota di setiap jangka waktu tertentu. Akan muncul kesulitan, bila orang-orang yang mendukungnya bergerak agak lambat proses belajarnya. Di samping itu, saya selalu berpikir lebih baik sangat pintar di satu bidang daripada pintar di semua bidang tetapi hanya di kulitnya,” kata perempuan yang, suatu saat nanti, ingin berbisnis berbau wellness ini. (Russanti Lubis)




Susanna S. Hartawan
Oleh : A. Mohammad B.S.

Perjalanan karier Susanna S. Hartawan cukup mengesankan. Memulai karier sebagai sekretaris, kiprahnya terus melesat, bahkan sampai ke posisi direktur perusahaan multinasional. Hebatnya, hampir tiap tahun ia memperoleh penghargaan sebagai The Best Employee. Kelahiran Pontianak, 29 Agustus ini merentas karier selama 8 bulan sebagai sekretaris hingga Manajer Penjualan PT Berca Hardayaperkasa. Setelah itu, selama dua tahun menjadi Kepala Departemen Produk Hardgoods Jebsen & Jessen.

Ia lantas hijrah ke PT Digital Astra Nusantara (DAN) sebagai Asisten Presdir sekaligus dipercaya menangani Kualitas, Pelayanan Konsumen dan Perencanaan Bisnis yang membuat waktunya banyak dihabiskan di berbagai negara ASEAN. Posisinya menjadi direktur ketika DAN diakuisisi Compaq. Begitu pula, saat Compaq Indonesia dimerger dengan Hewlett-Packard (HP) Mei 2002, ibu seorang anak ini dipercaya sebagai Direktur Country Merger Integration.

Kunci suksesnya? "Saya percaya, dengan belajar dan kerja keras, sukses bisa dicapai," tutur lulusan Tarakanita itu. Toh, Februari lalu, Susan memutuskan keluar dari HP dan mengembangkan PT NBO Indonesia. Perusahaan yang membidangi konsultasi, kepemimpinan dan keahlian komunikasi ini merupakan waralaba dari Nelson Buchanan & Oostergard Pte. Ltd. (The NBO Group). "Saya melihat kebutuhan akan pelatihan manajemen dan leadership di Indonesia sangat besar. Jadi, potensi pasarnya sangat menjanjikan. Lagi pula, saya sangat bangga apabila bisa membantu suatu perusahaan mengembangkan bisnisnya," paparnya.






Oleh : Firdanianty dan Herning Banirestu

Karyawan Olympic kerap dirotasi dari satu posisi ke posisi lain, bahkan hingga lintas departemen meski latar belakangnya bertolak belakang. Mengapa cara ini diterapkan? Apa manfaat yang dipetik karyawan?

Keraguan menyelimuti wajah Andi Setiawan ketika Eddy Gunawan, Direktur Utama PT Cahaya Sakti Multi Intraco – produsen furnitur merek Olympic – memanggilnya. "Ada apa gerangan?" tanyanya dalam hati. Ternyata, sang bos memberitahukan bahwa dia dipromosikan sebagai Kepala Cabang Penjualan Olympic Bogor. Mendengar berita itu, tubuh Andi langsung lemas. Sejenak, rasa gamang menyergap. Lho, mengapa lelaki yang dinilai berprestasi ini tak antusias menerima tawaran tersebut? Bukankah seharusnya bergembira?

Seraya menggelengkan kepala Andi menjawab, ”Saat itu saya sedang asyik-asyiknya bekerja di bagian Electronic Data Processing (EDP).” Maklum, sejak 1987 Andi bergelut di bagian ini mulai dari staf programer hingga menjadi Kepala EDP. Tak mengherankan, ketika diberitahu akan dipromosikan menjadi Kepala Cabang Bogor, dia hanya bisa menatap kosong. “Apakah saya mampu menciptakan sales dan profit besar? Apalagi, kala itu Cabang Bogor kinerjanya kurang bagus,” ujar Andi mengenang kata-kata yang diucapkannya ke Eddy pada 1998. Sekalipun tak yakin, lelaki yang mengawali kariernya sebagai staf pembelian pada 1985 ini tak mau larut dalam kebuntuan. Dan, benar saja. Setahun setelah menduduki jabatan barunya, dia berhasil menjadikan Cabang Bogor sebagai cabang terbaik.

Berbeda dari Andy, Oktova Lily justru menyambut mutasi pekerjaan dengan sumringah. Padahal, jabatan yang ditawarkan kepadanya sama sekali berbeda dari latar belakang pendidikan Lily yang lulusan D-3 LPK Tarakanita. Oleh Eddy, wanita yang mengawali karier di Olympic sejak 1992 sebagai sekretaris ini ditawari pindah ke bagian keuangan. Kebetulan, ketika itu Eddy masih menjabat sebagai Direktur Keuangan. Jadi, dia lumayan mengerti tentang masalah keuangan. Ketertarikan Lily pada bidang keuangan dan pasar modal akhirnya mendorong manajemen mengirimnya mengikuti kursus Wakil Perantara Efek di Bursa Efek Jakarta. Hasilnya, sejak 1999 Lily dipercaya menduduki jabatan Manajer Treasury Olympic.

Dilihat sepintas, gaya Eddy merotasi karyawan dari satu posisi ke posisi lain agak nyeleneh, inkonvensional (maverick) dan sering bertolak belakang. Lihat saja Andi. Dia sebenarnya lebih menyukai bidang teknologi informasi (TI), tapi Eddy justru mempromosikannya menjadi kepala cabang. Bagi Eddy, hal itu lumrah saja. Dia melakukannya bukan tanpa perhitungan. Menurutnya, memutar karyawan dari satu posisi ke posisi lain dapat mendorong karyawan yang bersangkutan lebih berkembang. Dia berasumsi, terlalu lama berada di suatu posisi menyebabkan karyawan merasa jenuh dengan pekerjaannya. “Karyawan sering merasa, kok saya begini-begini saja. Terlebih di perusahaan menengah, jalur karier ke atas kadang mentok,” ungkapnya polos.

Untuk menyiasati hal itu, Eddy membuat sistem karier yang mengalir ke samping, sekaligus berjalan ke atas. Sebagai contoh, karyawan TI yang ditempatkan di bidang penjualan atau operasi, otomatis harus belajar hal yang baru. “Karyawan di Olympic dituntut untuk meng-update diri dan tidak jenuh dengan satu posisi saja. Lagi pula, mutasi ini sekaligus promosi, karena naiknya seperti tangga yang melingkar,” ujarnya menjelaskan.





Pembelajar.Com:: - Wawancara (http://www.pembelajar.com)

Lisa Kuntjoro: Sales Itu problem Solver - 16 Oktober 2004 - 14:21 (Diposting oleh: Editor)

Mau cari teladan dan inspirasi dari figur-figur sukses? Tak usah repot-repot. Tak perlu cari cerita sukses dari konglomerat. Maklum, krisis ekonomi berkepanjangan bikin mereka babak belur. Di negeri ini, banyak konglomerat besar dengan fasilitas. Dan konon, pada main suap. Lalu kepada siapa kita perlu berguru? Bergurulah pada para penjual (salesman atau salesgirl) terbaik di negeri ini.

Siapa saja penjual terbaik di negeri ini? Lisa Bertiana Kuntjoro salah satunya. Tak berlebihan jika Lisa dari franchise (waralaba) properti ERA dijuluki sebagai "Ratu Properti" di Indonesia. Betapa tidak? Mantan sekretaris dan "alumnus" Dharma Wanita ini mampu membuktikan dirinya sebagai penjual properti terbaik dalam waktu relatif singkat. Baru setengah tahun ikut ERA (tahun 1993) ia langsung menyabet prestasi sebagai Top Sales Associate (Top Producer) dan berangkat ke konferensi ERA di San Antonio AS mewakili Indonesia. Lisa menjual 9 unit rumah mewah, dengan nilai rata-rata 1,5-3 milyar per unit. Ia melejit di antara 300-an Marketing Associate ERA lainnya pada waktu itu.

Sukses, tanpa bekal pengalaman menjual sama sekali! Berikutnya Lisa yang kelahiran Solo 26 September 1956 itu meraih peringkat peringkat penjualan terbaik, yaitu Top Producer Sales Associate empat kali berturut-turut tahun 1995-1998 dan tahun 2000. Prestasi sebagai ERA Winner's Circle pun dikantonginya terus-menerus sejak tahun 1993 hingga tahun 2000 lalu. Sejak keterlibatannya di ERA, ibu dengan seorang putri dan dua putra itu membukukan transaksi tak kurang dari 237 unit rumah (per Agustus 2001), 95% berlokasi di kawasan elite Pondok Indah Jakarta. Kini Lisa menempati jenjang karier sebagai Assistant Associate Director dengan pendapatan komisi berkisar antara Rp.200-400 juta pertahun. Ia pun menempati peringkat Sapphire Producer (satu-satunya di Indonesia) dengan komisi kumulatif antara Rp.1,75-2,25 milyar.

Penggemar berat film-film drama seperti Pearl Harbour dan Titanic ini begitu bangga dengan keberhasilannya sebagai penjual langsung. Bagi Lisa yang tamatan akademi ISWI, bisa melayani klien dengan baik dan memuaskan adalah kebanggan yang sempurna. "Maknanya sulit digambarkan dengan kata-kata," ungkap Lisa yang lebih suka ikut training ketimbang membaca itu. Tak pelak lagi, kini ia sering diundang ke berbagai seminar untuk membagikan ilmunya di bisnis jual-beli properti. Pers pun mulai berkerumun mengolah cerita tentang kesuksesannya.

Lisa mengaku dulunya punya karakter ambisius dan mudah dipanasi. Namun dengan karakter seperti itu ia malah sering memacu diri untuk bekerja luar biasa keras. Sepadan memang dengan prestasi yang diraihnya. Saat usia makin dewasa, kini ia punya motto hidup baru. "Saya nggak mau ngoyo, tapi menikmati hidup. Itu untuk mengimbangi saya. Mungkin umur ya…kemarin saya kan nggak ngomong begini!" ungkapnya dengan senyuman yang khas.

Profesi sebagai penjual membanggakan karena itu berarti menolong orang. "Kita itu problem solver," ucap Lisa bangga. Meskipun prestasi Lisa mengesankan, namun jangan heran jika rumus-rumus suksesnya begitu sederhana. Dan menurutnya, siapapun bisa melakukannya. Berikut petikan wawancara Lisa dengan Edy Zaqeus yang berlangsung di kantornya di Jl. Arteri Pondok Indah No.11 C Jakarta:

Bagaimana awalnya masuk ke bisnis ini?
Saya masuk ke ERA bulan Juli 1993. Awalnya karena saya ingin membantu seorang ibu pejabat yang kebetulan satu pesawat dengan saya. Dia ingin sekali punya rumah di Pondok Indah. Kebetulan saya tinggal di sana. Dia minta bantuan saya mencarikan rumah yang mau di jual. Semula saya bilang nggak tahu, karena nggak pernah memperhatikan. Tapi dia mendesak 'Kamu bisa nggak tolong saya?' Lalu entah kenapa saya kok ingin sekali membantu ibu ini. Saya keingat seorang teman yang bisnis di ERA. Waktu saya sampaikan hal itu kepadanya, dia malah menawari supaya saya terjun sendiri ke ERA. Saya waktu itu nggak tertarik karena sibuk di Dharma Wanita.

Suami ternyata mendukung. Dia bilang ilmu setinggi apapun akan lebih baik dibanding pengeluaran uang yang tidak seberapa untuk training. Ternyata di training itu ada motivasi yang cukup kuat. Dan sifat saya kalau saya sudah masuk, saya nggak mau tanggung. Kalau kita separoh-separoh, hasilnya juga nggak akan maksimal. Akhirnya saya tinggalkan Dharma Wanita, dan fulltime di ERA.

Seperti apa bisnis properti di ERA itu?
ERA itu franchise (waralaba) asal Amerika yang masuk ke sini tahun 1992 dengan nama ERA Indonesia. Member-member dengan modal tertentu membeli franchise dari ERA Indonesia, dengan ketentuan misalnya ada lokasi, ada kantor, fasilitasnya, juga jarak kantor yang satu dengan yang lainnya. Saya sendiri masuk di daerah Pondok Indah, sehingga saya beroperasi di sini. Soal berapa modal yang dibutuhkan untuk membuka kantor, itu biasanya Member Broker yang paham. Dia tugasnya membeli franchise, memenej marketingnya. Saya sebagai Marketing Associate tidak ngurus persoalan kantor. Beda sekali, saya di lapangan menangani klien. Kebetulan Member Broker saya adalah suami saya sendiri di kantor ini.

Nah, di ERA itu kita cari produk sendiri. Rumah yang saya dapat saya listing, lalu kita kontrak rumah sekitar tiga bulan. Setelah listing, harus punya program, diapakan rumahnya. Selama listing kantor memberi fasilitas standar; iklan sekian kali, spanduk, papan, pemakaian telepon kantor, dll. Kalau competitive marketing analysis (CMA) kita cocok, pasti rumah akan terjual kurang dari tiga bulan. Supaya tepat CMA-nya, kita harus tahu data-datanya. Kita harus cari sendiri datanya. Kreatifitas kita harus dicurahkan. Kalau saya punya ide-ide tersendiri, saya biayai sendiri.

Apakah lebih baik jika bisnis properti seperti ini dijalankan pasangan suami istri?
Kebetulan setelah masa saya, banyak juga yang masuk berpasangan suami istri. Kita kan bisnis jasa ya, nggak tentu jamnya seperti orang kantoran. Kita menjalankannya bisa di sela-sela kesibukan, di hari libur, atau waktu-waktu orang sudah pada pulang kantor kita bekerja. Maka saya merasa lebih cocok kalau di bisnis ini kita berpasangan. Di Amerika sendiri banyak yang menjalankan bisnis ini secara berpasangan.

Suami saya Pak Kuntjoro sebelumnya tidak tertarik. Dia kerja di Aneka Gas Industri, BUMN di bawah Departemen Perindustrian. Dia cuma nemenin deal-deal. Bayangkan jika saya harus deal sampai larut malam…Akhirnya setelah sering menemani dia melihat bisnis ini bagus juga. Dia mulai belajar. Tahun 1994 akhir suami mau dipindahtugaskan ke Ujung Pandang. Saya ditanya, mau pindah ke Ujung Pandang atau tetap tinggal. Tapi dia memilih mengorbankan karirnya, keluar dan saya ajakin beli sendiri franchise-nya. Suami join dengan seorang rekan sebagai Member Broker sampai tahun 1999. Tahun 2000 suami membeli sendiri franchise-nya dan mendirikan ERA Home. Saya tetap milih sebagai Marketing Associate untuk ERA Home.

Awal mula ikut ERA pertengahan 1993 langsung melejit sebagai Top Sales (Marketing) Associate. Apa resepnya? Mungkin timing-nya tepat. Waktu itu pas banget kita kenalkan ERA yang dari Amerika. Orang mulai ingin tahu dan mulai mempergunakan jasa kita. Kerja saya pun saya akui agak berat. Tambahan lagi saingan tahun 1992-1993 kan belum banyak. Paling hanya ada ERA dan broker tradisional seperti Home atau Procon yang khusus menangani gedung-gedung perkantoran. Tak seberat sekarang persaingannya. Kebetulan lagi saya mengambil suatu lokasi Pondok Indah yang punya brand image tersendiri. Orang-orang yang tinggal di sana orang elite, kebanyakan pejabat atau mantan pejabat, yang tidak punya waktu untuk menjual sendiri rumahnya. Volume atau harga per unit rumah di sana rata-rata juga tinggi. Dulu saja tahun 1993 pasarannya sudah Rp1 milyar ke atas.

Pernah mengalami "kekalahan"?
Pernah! Saya top tahun 1993, tapi 1994 nggak. Seorang ibu dari Jatim mengalahkan saya. Nah karena nggak bisa menjadi Top Marketing Associate tahun 1994, saya melecut diri saya sendiri. Begini, 'Saya sudah bisa top, trus saya dikalahkan orang lain…?' Lalu saya bangun diri saya sendiri, saya bertekad harus bisa merebut kembali posisi itu. Akhirnya tahun 1995 saya berhasil lagi di posisi top. Tahun itu saya kembali memotivasi diri, 'Saya ingin top berturut-turut. Saya nggak mau selang-seling!'. Saya ingin membuktikan bahwa kita itu sebenarnya bisa terus di atas dengan punya target yang saya kira bisa saya jangkau. Orang bilang masak sih bisa tiga kali berturut-turut? Waktu itu dalam hati saya bilang 'Saya mau membuktikan bahwa saya bisa tiga kali berturut-turut'.

Akhirnya benar, tahun 1995, 1996, 1997, 1998 saya berhasil mencapai posisi top. Malah kelebihan satu ya… Tahun 1999 saya konsentrasi ke usaha supaya bisa memiliki gedung ini sendiri. Saya lupa mempertahankan posisi top. Tahun 1999 saya dikalahkan Ibu Elly dari Jakarta. Tapi sejak itu kami punya ERA Home. Makanya saya mau membuktikan bahwa segala sesuatu itu harus jelas motivasinya, tujuannya, kemauannya, keinginannya, lalu kita jalani. Saya mau membuktikan bahwa ERA Home itu bisa di posisi top. Dan tahun 2000 akhirnya terbukti lagi, saya raih lagi posisi Top Marketing Associate dan Pak Kuntjoro suami saya jadi Top Member Broker (Ctt redaksi: pada pertengahan tahun 2002 Lisa Kuntjoro dinobatkan sebagai Top Marketing Associate 2001).

Target berikutnya?
Untuk kali ini saya ingin temen-temen yang di sini yang menggantikan saya (meraih posisi top:red). Saya ingin mengangkat temen-temen di kantor ini. Saya ingin bagaimana caranya tim kita di ERA Home bisa ke sana. Memang rasanya capek, stres, tapi kalau kita enjoy dengan pekerjaan, kita senang. Semua bisa kita jalani jika kita punya tujuan yang jelas, kemauan yang kuat, punya motivasi, punya action yang bagus. Maka semuanya saya program begini misalnya, kalau kita Top Marketing itu biasanya bisa menjual sekian unit (rumah) dalam satu bulan. Untuk mempertahankan, saya naikkan target penjualan per unit. Lalu target saya naikkan lagi untuk tahun berikutnya. Nah, kelihatannya puncak saya itu sudah di angka empat unit rumah terjual tiap bulan di Pondok Indah. Tahun 2000 rata-rata saya berhasil menjual empat unit perbulan. Tahun 1996 kalau nggak salah saya pernah menjual 46 unit.

Ada berapa Marketing Associate di ERA Home?
Yang aktif -artinya yang sudah melakukan transaksi-- sekitar 25 orang. Kalau dihitung sama yang belum bisa 40-an. Yang nggak aktif, nggak usah dihitunglah! Aktifitas mereka di sini mencari produk, mencari listing. Setelah mendapatkan listing, kita buatkan program seperti pemotretan, pemasangan iklan, atau aktifitas menerima klien di kantor, dll.

Menurut anda apakah profesi sebagai seorang sales seperti di ERA ini cukup membanggakan?
Terus terang dulu saya sendiri juga merasa…gimana gitu ya. Anak-anak sendiri pernah bilang…calo! Ha..ha.. ngeledek juga mereka. 'Bagaimanapun juga calo, diapa-apain juga…calo!' Tapi terus terang dengan adanya franchise seperti ERA ini ternyata besar sekali di Amerika. Saya lihat sendiri. Makanya kini saya justru punya kebanggaan tersendiri. Kebanggaannya adalah, kita ini problem solver. Memecahkan masalah klien kita. Mereka masalahnya beda-beda. Ada yang mau beli rumah, dananya nggak cukup, kita kasih jalan lewat KPR. Ada yang mau pindah karena ingin punya tabungan lebih, kita anjurkan ditukar dengan yang lebih kecil, kita punya produknya. Jadi kita membantu sekali memecahkan masalah klien. Itu yang sampai saat ini merupakan kebanggaan saya yang terutama. Temen-temen di sini saya lihat demikian, senang jika bisa membantu.

Profesi kita beda dengan calo (broker tradisional: red). Kalau calo kan cuma nemuin orang aja. Kita membantu soal kelegalan dokumen. Semisal (rumah) itu masuk BPPN, kita diminta ngurus bisa. Klien percaya, akhirnya merasa aman. Jadi profesi kita di bidang broker itu, saya nggak merasa malu atau apa. Kita justru PD banget.

Dalam profesi ini ketrampilan-ketrampilan dasar apa yang mesti dikuasai supaya bisa sukses? Sebetulnya ketrampilan kan bisa dikembangkan. Tapi intinya adalah kemauan. Nomor satu kemauan, lalu action kita mesti ada. Karena meskipun kita trampil tapi tidak ada kemauan ya nggak akan jalan. Ketrampilan memberi wawasan kepada klien supaya akhirnya dia bisa cepat mengambil keputusan. Komunikasi, itu yang paling penting. Karena kita bisnis kepercayaan. Kalau komunikasi kita baik, kita mudah dimengerti. Kalau penampilan harus ya. Dan semakin kita banyak penghargaan, semakin mereka percaya. Selain kemauan, juga kreatifitas kita mesti dikembangkan terus.

Orang harus ikut training-training. Saya sudah ikuti training Seven Habit, training Mark Plus, training dengan James Gwee, lalu kemarin saya ikut Personal Power. Saya ingin juga menggali kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kemauan kalau tidak dipacu terus lama-lama nggak termotivasi. Saya suntik diri saya sendiri.

Apa manfaat training-training seperti itu?
Banyak sekali. Saya pernah jenuh, bosen. Dan bosen itu paling bahaya ya. Pengin juga sesuatu yang lain, tapi sesuatu yang lain itu belum tentu…kadang-kadang begitu. Akhirnya ERA Indonesia membuat (training-training). Kita disuntik lagi, kita harus memacu lagi seperti apa. Akhirnya kita belajar meningkatkan kualitas kita. Keluar dari training saya punya motivasi lagi.

Bagaimana faktor risiko di bisnis ini?
Saya rasa nggak ada risikonya. Risikonya ya jangan mengecewakan klien aja. Kalau klien sudah dikecewakan, itu berat sekali buat kita. Kalau klien sudah kecewa, dia dari satu mulut ke mulut lain, matilah kita. Bisnis kita bisnis kepercayaan. Kalau orang sudah kecewa, tidak percaya, itu akan membuat kita terpuruk.






0 Comments:

Post a Comment

<< Home