Forum Kebersamaan Image MDC Bintaro

Tuesday, August 29, 2006

Profil Wanita Sukses

Meity Robot :
Nyaris Memimpin PANAM Di Indonesia

Bekerja dijalaninya sejak lulus sekolah menengah. Dari perusahaan minyak asing, airlines asing sampai biro perjalanan wisata dirambahnya selama lebih 42 tahun. Pariwisata kini menjadi titik fokusnya.

Meity Robot Titik fokusnya kini pariwisata
Dengan serius Augustine Constantine Robot atau dikenal sebagai Meity Robot menyimak ucapan seorang wartawan di telepon. Wartawan itu memberitahukan bahwa dalam draft terakhir GBHN yang baru, pariwisata ada di sub paling bawah di bawah sektor sosial dan budaya. "Bukan di bawah sektor ekonomi?" tanyanya. Waktu itu, pertengahan Oktober lalu, ia berada di kantornya, Iwata Nusantara Tours & Tavel, dan sudah beberapa jam lewat dari jam kantor.

Padahal, katanya, pariwisata itu suatu industri yang menghasilkan banyak devisa. Dulu masih di urutan ke-20 penyumbang devisa negara, kini sudah keenam terbesar. Dia kelihatan kecewa. Apalagi beberapa hari sebelumnya, bersama rekan-rekannya para pelaku pariwisata Indonesia, ia berbicara dan memberi masukan kepada para anggota DPR RI mengenai pentingnya pengembangan pariwisata untuk meraup devisa negara.

Terlepas dari pembicaraan itu, Meity nama panggilan yang diberikan ibunya menaruh minat yang mendalam pada bidang yang kini digelutinya, pariwisata. Sebagai Ketua ASITA (Association of the Indonesian Tour & Travel Agencies) Jakarta, ia merasa berkewajiban untuk ikut andil dalam segala permasalahan yang menyangkut kepariwisataan. Apalagi dari tahun 1980 ia berkecimpung dalam bisnis pariwisata.

"Sebenarnya saat itu belum terbayang untuk terjun di pariwisata. Tidak pernah mimpi, karena saya lebih tertarik di bidang kesekretariatan," ujarnya.

Dua rekan kerjanya saat bekerja di sebuah airlines (penerbangan) asing mengajak untuk berusaha menjalankan biro tur dan perjalanan sendiri. "Perusahaan ini sudah ada. Kami tinggal menjalankannya," kata Direktur Iwata Nusantara Tours & Travel yang memiliki 24 karyawan, "Dari masa ramai, sampai masa sulit ini, saya pertahankan jumlah karyawan itu."
Selalu bekerja

Meity memang tipe wanita pekerja. Sejak tahun 1956, selepas dari HBS sekolah menengah Belanda di Indonesia ia langsung bekerja di sebuah perusahaan minyak, Shell Company.

"Waktu itu umur saya 19 tahun. Saya hanya sebagai staf biasa. Tapi di sana saya belajar steno, mengetik dan bidang-bidang kesekretariatan lainnya," ujar nyong Ambon kelahiran Jakarta, 3 Agustus 1937 ini. Karirnya naik, jadi sekretaris direksi dan diberi kesempatan untuk belajar bidang sekretariat bisnis di Singapura.

Sepulangnya dari Singapura, ia dipindahkan ke Plaju, kantor pusat Shell di Indonesia. "Tapi nggak lama. Saya nggak tahan tinggal jauh dari keluarga yang selalu ramai." Baliklah ia ke Jakarta, walau dengan tekad untuk mencari pekerjaan lain. "Saya sudah cukup lama di Shell. Sudah tidak betah lagi. Lagipula saya sudah mengecewakan dan merasa nggak adil."

Meity juga ingin melanglang buana. "Ingin melihat dunia, dan bagaimana negara-negara lain dibandingkan dengan negara saya. Bekerja di manapun, dengan gaji seberapa besar pun, belum tentu dapat keliling dunia, kan? Itu yang ada di benak saya waktu itu. Saya ingin pindah untuk dapat sesuatu yang lain." Bagaimana ia mewujudkan cita-citanya? Dia pun melamar ke maskapai penerbangan.

Tahun 1962 itu, ia mendapat tawaran di dua maskapai asing, dari Jepang dan Amerika Serikat. Meity menentukan pilihan, bekerja di maskapai penerbangan AS, PANAM. Alasannya, "Karena saya pikir, sebagai perempuan saya tidak akan 'dianggap' lebih kalau bekerja di perusahaan Jepang. Sedangkan di perusahaan AS, kesempatan untuk maju lebih banyak."

Memang tidak salah. Di PANAM ia memperoleh banyak kesempatan belajar, kebanyakan di luar negeri. Belum lagi mengunjungi negara-negara lain menggunakan armadanya dengan tiket hanya 5-10 persen. Sekeluarga lagi. "Anak saya waktu itu masih kecil sudah saya bawa keliling dunia." Meity yang kerap melanglang buana itu sangat menyukai kota-kota di Prancis. Sedangkan di Tanah Air hanya beberapa kota besar yang sempat disinggahinya.

Tahun 1965, tepatnya tanggal 5 Juni 1965, ia menikah dengan Robby Simon Robot, orang Manado yang pegawai Pertamina. "Saya bertemu pertama kali saat bekerja di Shell," jelasnya. Meity dikaruniai empat anak, Orlando Brian (33), Raymond Mauria (30), Brenda Priscilla (27) dan Vito Tobias (22). Dua anaknya sudah bekerja, putri semata wayang masih kuliah di AS, sedangkan si bungsu hampir rampung dari Universitas Atmajaya jurusan Hukum Perusahaan.

Di PANAM ia mengawali karirnya sebagai sekretaris direksi. Kursus-kursus berbagai bidang kesekretariatan, bahkan bidang lain, seperti reservasi, ticketing, penjualan, kargo, sampai manajemen ia peroleh. Kursus jangka pendek yang umumnya diberikan dua kali setahun itu dilaksanakan di Hong Kong, London, Honolulu, Los Angeles dan New York. "Yang tidak sempat, di Miami."

"Saya kan orangnya ingin tahu segala macam," Meity mengakui. Tepatlah kalau ia masuk PANAM yang memberi kesempatan luas untuk meningkatkan kemampuan diri. "Mereka tidak pernah membatasi. Asal kita mampu dan mau. Apalagi kita yang atur anggaran-nya. Umumnya mereka menyetujui. Loyalitas kami di sana juga tidak diragukan."

Jadilah Meity seorang manajer, tahun 1972. Dalam 10 tahun itu, ia merambat naik, dari seorang sekretaris, supervisor sampai manajer. "Saya jadi orang kedua, setelah si Bule yang jadi pimpinan." Ada dua manajer di kantornya, satu yang dijabat Meity sebagai controls and management services dan satu lagi pria Indonesia sebagai airport manager.

"Waktu itu saya satu-satunya perempuan Indonesia yang dijadikan manajer di perusahaan asing. Saya banyak masuk koran. Suatu kebanggaan," kenangnya. PANAM memang jadi kenangannya yang paling manis. Dan ia betah bekerja sampai 18 tahun.

Belum terbayangkan bahwa kemudian PANAM jatuh. "Tapi, sebelum saya keluar pun PANAM kan sudah off line. Dia tidak terbang lagi ke Indonesia, hanya sampai Singapura dan Hong Kong. Tahun 1976 itu sudah menggantunglah. Karir saya juga sudah mentok. Kalau naik lagi, ya gantiin si Bule. Saat itu, belum bisa orang kita menduduki posisi top. Baru beberapa tahun kemudian bisa," katanya.

Akhir tahun 1979, Meity pun minta keluar. "Kalau kamu mau keluar, boleh. Tapi jangan ke airlines lagi. Begitu pesan si Bule. Ya, nggak lah."
Unggul di ticketing

Saat memulai usaha di biro perjalanan, Meity tidak tahu seberapa besar peluang yang bisa diraihnya. Tapi di awal berbisnis sendiri, ia tidak mengalami banyak kesulitan. "Saat bekerja di PANAM, saya memang kuat di penjualan tiket. Saya masih memanfaatkan relasi yang ingin ke luar negeri, belum sampai untuk mendatangkan mereka ke sini," jelasnya.

Meity ingat, saat itu pariwisata Indonesia tidak banyak diperhatikan. Perolehan devisa negara masih mengandalkan hasil minyak bumi. Setelah terjadi krisis minyak dunia, pemerintah mulai melirik sektor wisata. Tapi, ia mengakui, sampai saat inipun penanganannya masih belum seluruhnya profesional. "Kendalanya banyak, accessibility-nya, juga peraturan-peraturan."

Padahal ia mengakui bahwa Indonesia sangat kaya sumber daya. Daya tarik obyek wisata jauh lebih bagus lagi. Ada pantai, laut, gunung, dan budaya. Indonesia itu, katanya, suatu tujuan yang atraktif. Tapi, bagaimana cara menawarkannya ke luar negeri? Hal tersebut yang juga menjadi kendala. Selama pariwisata berkembang, tahun 1997 adalah tahun dengan paling banyak wisatawan asing yang datang, sampai 5,3 juta orang.

"Setelah itu krisis makin diperparah dengan situasi politik. Ada pemilihan umum, Timor Timur, sidang umum yang tak lepas dari unjuk rasa. Pusing jadinya kita di sini. Kalau kita saja pusing, bagaimana dengan orang yang mau ke sini, pusing juga kan? Wisatawan kan beli sesuatu bukan untuk cari ketidak nyamanan. Dia ingin enjoy. Kalau keadaanya tidak kondusif, bagaimana mau enjoy," ungkapnya.

Meity menyadari, kurangnya memberikan informasi yang akurat dan tepat bagi wisatawan asing memberi kontribusi yang besar bagi semrawutnya pariwisata Indonesia. "Mestinya kalau berita-berita di luar tidak bersahabat, memang kita tidak boleh bohong. Tapi harus ada cara untuk memberikan sesuatu. Misalnya, kalau berita itu benar, kita bisa katakan memang itu benar, tapi ... 'Tapi'nya itu masih belum ada yang menyampaikan." Belum lagi perwakilan-perwakilan di luar (ITPB = Indonesia Tourism Promotion Board) ditutup. Hambatan pun makin beragam.

Diakuinya, untuk hal tersebut Bali sudah memilikinya dengan adanya Bali Update. Maka, saat krismon pun wisatawan masih datang ke Pulau Dewata itu. Dan menurut Meity, untuk mencontoh itu pariwisata pusat punya gagasan untuk memberdayakan 'Post of Indonesia Tourism' yang kini masih dipegang Indonesia PATA Chapter dan nanti akan diserahkan kepada BPPI (Badan Promosi Pariwisata Indonesia). Dengan adanya 'Post' maka informasi dapat disebarkan secara efektif.

Meity pun bercerita saat menjadi Ketua Pasar Wisata ke-6 di Jakarta baru-baru ini berlangsung di Senayan, nyaris terhenti karena situasi yang memanas di ibukota. "Saat transaksi berlangsung, kita masih dengar tembakan-tembakan. Padahal di sana ada tour operator, wholesaler dari luar yang diundang. Kejadian itupun jadi tontonan mereka. Itukan hal yang menakutkan. Dan kita sama sekali tidak tahu hal itu akan terjadi." Karena itulah, penutupan pun dimajukan sehari.
Sedang berjuang

Di tengah Pasar Wisata Kerusuhan membuat citra Indonesia rusak
Aktivitasnya di berbagai organisasi pariwisata dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) patut diacungi jempol. Untuk kiprahnya itu, Meity mendapat anugerah Adikarya Pariwisata tahun 1996 dari Presiden. Dia mengakui, sering diajak mengikuti berbagai kegiatan pariwisata oleh Joop Ave (saat itu Dirjen Pariwisata) dan diberi banyak kesempatan belajar.

Menjadi Ketua ASITA Jakarta pun sampai tiga periode, sejak tahun 1993. Kini untuk periode ketiga yang dipilih tahun 1998, ia menjabat lima tahun sebelumnya tiga tahun sekali. "Nanti Desember ada Munas di Bali. Kami akan ajukan pemilihan ketua kembali tiga tahun sekali dan hanya boleh diangkat dua kali." Bisa jadi di Munas itu ia dipilih jadi ketua ASITA Pusat? "Wallahualam," Meity hanya tersenyum.

Meity akan menjalani tugasnya sampai tahun 2003, walau seterusnya ia tak berminat lagi. Memang bukan hal mudah mengatur lebih dari 500 anggota ASITA Jakarta. "Susah sekali menghimpun mereka. Kebanyakan mereka masih belum merasakan manfaat asosiasi, belum punya rasa ikut memiliki. Saya tak tahu kenapa, karena belum melakukan evaluasi. Tapi BPPI akan kita aktifkan lagi."

Pariwisata yang memang diharapkan menjadi penghasil devisa utama, rupanya masih tinggal harapan. "Bagaimana, coba. Ibaratnya, kita tak dikasih pelurunya. Di perusahaan umumnya 10 persen turn over untuk promosi. Tapi kita mana? Kalau kita dapat hasil, ya kasihlah untuk promosi itu." Dan sampai saat ini, Meity mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berjuang agar pemerintah yang baru itu mengerti.

Dalam usianya yang lebih 62 tahun dan masih tampak segar, ia katakan, hidupnya mengalir saja. "Saya ini kalau ingin tidur, ya harus tidur, walau persoalan belum selesai. Kalau sudah tidur, biasanya saya merasa segar." Sebagai perempuan, ia juga tidak pernah merasa mendapat hambatan berarti dalam membina karirnya.

Meity memandang, perempuan di Indonesia banyak diberi kesempatan untuk memasuki bidang kerja apapun. Walau ia mengakui, soal imbalan masih di bawah pekerja laki-laki. Urusan bekerja memang sudah menjadi dunianya. "Kita harus betul-betul punya keinginan dan harus menyukai pekerjaan yang diterjuni. Tapi kalau tidak menguasai bidangnya, itu susah berkembang. Selain itu, apa nilai yang bisa kita dapat," kiatnya.

Sebagai perempuan bekerja dan berkeluarga, Meity juga mengakui banyak tantangannya. Tapi ia maju terus, "Yang penting kualitas, dan lingkungan keluarga kami cukup dekat. Kami beri anak-anak pendidikan yang layak. Uang, mereka bisa cari. Tapi pendidikan? Kami sebisa mungkin memberi pendidikan pada mereka. Karena tidak semua orang dapat kesempatan seperti itu."

Tapi Meity masih menyimpan obsesi tentang kesuksesan anak-anaknya yang semuanya masih lajang itu. "Saya ingin anak-anak sukses. Soalnya, dalam keadaan begini." Usaha anaknya memang harus tutup karena krismon ini. "Untung saya lihat mereka tidak frustasi. Mereka tidak menyerah, itu suatu kebanggaan."

Meity pun tidak pernah lupa memberikan dukungan. "Saya juga suka katakan, walau kita menghadapi masa yang sangat sulit, sangat berat, tapi jangan lupa, masih banyak orang yang lebih menderita dari kita." (nie)






Tati Purwadi
Mengawinkan Batik dengan Bordir

Perkawinan silang sering membuahkan hasil yang unik dan cantik. Baik dalam perkawinan tumbuhan ataupun manusia. Label indo pada anak hasil perkawinan manusia Timur dan Barat salah satu contoh yang disukai. Perkawinan silang dalam urusan busana pun mampu menampilkan pesona yang indah. Itulah yang dilakukan Tati Purwadi (54) pada sandang asli Indonesia, batik. Ia memadukan kain batik dengan kerajinan bordir. Hasilnya, sebuah karya yang memanjakan mata.

DI showroom-nya yang diberi nama Butik Batik Pranandari, sebuah bentangan gorden di belakang meja kasir menjadi pandangan pertama yang menarik pengunjung. Kain gorden berbahan belacu itu akan menjadi kain biasa seandainya tak ada kupu-kupu atau bunga menempel di sana-sini. Kupu-kupu dan bunga tersebut adalah potongan dari kain batik. Setiap sisi kupu-kupu dan bunga dibordir sebagai perekat pada belacu sekaligus mempertegas bentuk. Pinggiran gorden dipermanis lagi dengan juntaian batik senada kupu-kupu atau bunga.

”Awalnya saya memang bermain di nonbusana, baru tahun 2000 saja saya mulai merancang busana Muslim dengan modifikasi batik dan bordir,” tutur Tati. Nonbusana yang dimaksud Tati adalah seprai, tutup kasur atau lazim disebut bedcover, dan gorden.

Saat busana Muslim semakin banyak dikenakan perempuan, Tati berpikir untuk melakukan ekspansi dengan menerobos peluang pasar tersebut. Kebetulan seorang keponakannya yang memiliki sebuah butik pakaian di Bogor memintanya memasok pakaian.

Pilihan Tati melebarkan sayap ke arah busana Muslim tak salah. Manisnya booming pakaian Muslim sempat dirasakan Tati. Saat itu ia masih mengotak-atik busana Muslim dari kain biasa. ”Dulu belum memproduksi busana batik. Tapi sudah menyediakan batik Trusmi yang dipasok dari Cirebon, namun belum berbentuk busana,”ujarnya.

Sejalan dengan waktu, Tati tertarik untuk melakukan sesuatu pada batik. ”Saya ingin menjadikan batik menjadi sesuatu yang lain,” kata Tati yang kemudian menemukan moto butiknya yang berbunyi ”Kini, batik tak lagi klasik”.

Kain batik di tangan Tati memang semakin cantik. Sebuah kain batik yang biasa diwiron sebagai padanan kebaya bisa berubah menjadi rok berpayet. Bisa dipakai untuk kesempatan formal tidak hanya oleh ibu-ibu tapi juga dapat dikenakan para remaja putri.

Sekarang dengan saingan pebisnis busana Muslim di mana-mana, pengalaman laris manis busana Muslim agak terpengaruh. ”Sebab itu saya membidik segmen yang agak berbeda dengan pasar pada umumnya, yaitu pakaian resmi dan setengah resmi untuk ibu muda dan remaja. Kalau yang kasual di pasar baru juga kan banyak,” kata Tati menjelaskan tentang siasatnya.

Tetapi untuk jenis padu padan batik, Tati tidak terlalu memiliki banyak pesaing. Kalaupun ada, setahu Tati pengusaha lain menggunakan pure batik pada rancangannya.

**

MODAL nekat menjadi awal dari terjunnya ibu dari Restu Pranandari, S.H., dan M. Mugni Taufik (mahasiswa Teknik Sipil ITB) ke dunia bisnis. ”Awalnya modal nyampur-nyampur dengan uang rumah tangga,” ucapnya mengenang masa-masa awal bisnisnya. Modal itu pun diperoleh Tati dari suaminya yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Ir. Ahmad Purwadi, M.Sc.

Semula Tati adalah ibu rumah tangga biasa setelah memutuskan berhenti bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan konsultan di Bandung. ”Tapi karena sudah biasa bekerja, saya kepikiran mau ngapain di rumah aja. Suami saya juga mendukung, bahkan dia bilang lebih baik saya punya pekerjaan. Kalau punya kesibukan gak ada yang dirasa. maksudnya kalau diam saja, semua jadi terasa, ya penyakit atau apa pun itu,” kata Tati sambil melepas tawa.

Tati tak perlu lama-lama berpikir. Ia memutuskan untuk berkarya dan bekerja dalam dunia yang disukainya. Semenjak sekolah menengah pertama, Tati sudah suka menjahit. Saat perpisahan sekolah, bahkan ia sudah bisa menjahit pakaiannya sendiri untuk menghadiri acara tersebut.

Menekuni pekerjaan yang disukainya, Tati tak terlalu terobsesi harus sukses. Baginya, pekerjaan itu sendiri sudah memberinya kesenangan tersendiri. Mungkin karena dinikmati dan tanpa beban, jalannya malah terbuka lebar. Dari dua orang pekerja, kini ia sanggup menggaji 21 karyawan yang terdiri dari pemotong kain, penjahit, pembordir, hingga juru masak, dan pramuniaga tokonya. ”Ada yang aneh bagi saya, yaitu jenis pekerjaan dan asal para pekerja saya. Yang membordir pastilah orang Tasikmalaya, sedangkan penjahit semuanya berasal dari Garut,” ungkapnya.

Walaupun sudah memunyai karyawan yang bisa diandalkan, Tati tidak lepas tangan begitu saja. Baginya kualitas adalah hal yang harus diutamakan. Ia masih bersedia mengukur pelanggan yang ingin membuat baju. Selain menyediakan pakaian jadi, Tati juga menerima jasa menjahit dan membordir. Bahkan ia juga bersedia mendesain kamar pengantin.

Untuk menjaga kualitas jahitan dan bordir, Tati tak mau memberikan sistem borongan pada pegawainya. Tati lebih menyukai sistem upah harian walaupun menjadikan biaya produksi lebih mahal.

”Kalau sistem borongan, pastilah pekerja ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Jika harian, kalaupun lambat mereka rapi mengerjakannnya,” papar Tati.

Ada keasyikan tersendiri bagi Tati bisa bergaul dengan karyawan-karyawannya yang ia kontrakkan di sekitar lingkungan rumahnya di daerah Arcamanik Bandung. ”Saya jadi bisa mendalami berbagai jenis karakter orang,” katanya.

Prinsip yang dianutnya, sekaligus rahasia yang membuat karyawan-karyawannya loyal adalah penerapan simbiosa mutualisme alias hubungan yang saling menguntungkan. ”Seperti pada anggota tubuh sendiri, kita tak boleh menganggap salah satu bagian lebih penting dari yang lain, misalnya mata lebih penting dari tangan. Semua sama pentingnya. Itu yang saya katakan pada pegawai saya. Saya membutuhkan Anda dan Anda pun membutuhkan saya,” ujarnya.

**

PEMASARAN sebagai ujung tombak sebuah hasil produksi, sudah sangat dikuasai Tati. Selain memajang busana di tokonya yang berada di kawasan Lingkar Selatan, Tati juga rajin berpameran untuk menggaet pelanggan baru. Barangnya, kendati belum dalam jumlah besar, sudah sampai juga ke Malaysia dan Qatar.

”Biasanya yang bawa adalah teman-teman saya. Saya memang biasa membawakan para ibu rumah tangga barang-barang saya, mereka bisa membayarnya jika sudah laku. Para ibu ini tidak hanya menjual di Bandung saja, juga sampai ke Aceh dan Medan,” katanya.

Sebelumnya ia juga menjadi pemasok bagi sebuah butik Muslim besar di Bandung. Namun ia tak meneruskannya. ”Ribet dan terlalu capek karena sistemnya 'kejar tayang',” ucapnya. Maksudnya, pesanan itu terus-menerus membuat ia tak bisa beristirahat.

Ia juga berkeputusan membuat bisnisnya berjalan lewat ”satu pintu”. Tati tak berminat membuka cabang lain, demi mepertahankan kualitas layanan. Sebulan ia memproduksi 240 setel atau 480 potong pakaian. Karena butik, tentu saja ia membatasi pembuatannya.

Di usianya sekarang, Tati mengaku ingin terjadi regenerasi dalam usahanya ini. Namun kelihatannya kedua anaknya belum berminat. ”Semoga nanti mereka berminat,” kata Tati yang saat ini sibuk membuat perlengkapan kamar pengantin untuk anak sulungnya yang rencananya akan menikah dalam waktu dekat. (Uci Anwar)***





Kartini-Kartini yang Terbang Menyongsong Ilmu

ZAMAN Kartini, alih-alih pergi ke luar negeri untuk sekolah, bisa belajar di tanah air sendiri pun sudah untung. Kini, kesempatan itu terbuka lebar. Demi ilmu, perempuan terbang bermil-mil jauhnya. Tetapi benarkah sudah semudah itu jalannya?

geulis-utama1.gif (47492 bytes)JAWABANNYA tidak! Tantangan sudah diawali ketika perempuan masih di rumah. “Konflik batin terjadi ketika akan memutuskan itu. Diambil atau tidak ya? Saya bukan tipe orang yang mengejar karier, tapi suka mengembangkan diri. Lalu bagaimana dengan anak-anak? Tapi kalaupun ditunda, belum tentu saya nanti lebih siap atau peluang itu bisa datang lagi. Konflik itu pun berkepanjangan ketika saya sudah berada di sana. Saat saya kangen anak-anak, saya sempat berpikir, ngapain sih saya di sini (di luar negeri)?” kata Karyantri Dewi (35), Program Officer PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Jawa Barat yang mendapat beasiswa gender studies selama setahun di Leeds University, Inggris, tahun lalu.

Jadi tidaknya para Kartini menyongsong ilmu, banyak dipengaruhi sikap keluarga, terutama suami. Prof. Dr. Hj. Dwi Kartini, Spec.Lic., misalnya, berangkat dengan perasaan tenang ke Ghent State University di Belgia, meninggalkan kedua anaknya yang saat itu baru berumur 4 dan 5 tahun.

“Suami sangat mendukung, bahkan dia yang menjadi pendorong utama saya. Dia menyatakan siap mengasuh anak bergantian dengan ibu saya. Dukungan suami adalah hal amat penting bagi perempuan yang sudah menikah dan ingin belajar lagi dalam waktu lama di luar Indonesia,” ujar Dwi yang sekretaris Bidang Akademik Program Magister Manajemen Universitas Padjadjaran ini.

Ketua Pusat Penelitian Peranan Wanita Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung, Ir. Siti Homzah, M.S. mengemukakan, keluarga adalah sebuah sistem yang memiliki struktur dan fungsi. Terciptanya keluarga melalui proses “kontrak perkawinan” antara laki-laki dan perempuan, yang masing-masing anggota memiliki kewajiban dan hak masing-masing.

“Ketika salah satu anggota harus meninggalkan tugas dan fungsinya, pasti akan ada kegoncangan dalam sistem tersebut. Sebab itu, perlu ada komitmen baru antara suami, istri, dan anak ketika salah satu anggota, katakanlan istri, pergi belajar lagi untuk waktu yang lama, apalagi di tempat yang amat jauh,” kata Homzah.

Mereka yang bisa sukses belajar di luar negeri sekaligus sukses mempertahankan keluarganya biasanya datang dari keluarga yang solid. Menurut Homzah, banyak perempuan yang memaksa mengejar karier melalui studi di luar negeri, namun pulang mendapati kenyataan rumah tangganya berantakan.

Sebut saja Miranda. Pulang dari tugas belajar, ia mendapati suaminya telah menikah lagi dan memiliki anak. Padahal, keberangkatannya sudah melalui persetujuan dan komitmen dengan suaminya. “Usia perkawinan kami waktu itu sudah belasan tahun, ketika itu saya pikir keluarga saya termasuk keluarga solid. Saya merasa sudah mengenal suami saya,” tutur Miranda.

**

BELAJAR di negeri orang memang merupakan peluang emas. “Sayang rasanya melepas peluang beasiswa sebesar 20.000 poundsterling atau Rp 300 juta,” kata Imelda Tirra Usnadibrata Furqon (34). Imelda mendapat kesempatan belajar di tingkat magister bidang metodologi riset pendidikan di Oxford University, Inggris sejak September 2004 hingga September 2005.

Kelebihan bersekolah di luar negeri terasa sekali, baik oleh Imelda, Dwi Kartini. “Terutama dari fasilitas yang canggih dan lengkap, termasuk akses mendapatkan berbagai informasi serta para pembimbing yang berdedikasi penuh untuk memastikan kita on track dalam studi,” ujar Imelda.

Itu juga yang dirasakan oleh Karyantri. “Kita yang dari Indonesia masih mending, agak mengerti tentang teknologi. Ada rekan dari negara Afrika yang benar-benar gaptek alias gagap teknologi. Mereka dibimbing serius sehingga menguasai teknologi,” ujar Karyantri.

Meskipun begitu, Dwi Kartini sempat gaptek juga saat ia ke Belgia. Tahun 1983, saat teknologi belum banyak masuk ke sini, Dwi Kartini terbengong-bengong memasuki sekolahnya di Belgia. Selain gaptek, ia juga kesulitan dalam berbahasa. Di Belgia, digunakan tiga bahasa yakni Prancis, Jerman, dan Belanda. Sebelum berangkat, Dwi memutuskan belajar bahasa Belanda. “Namun, apa yang terjadi? Saya ditertawakan teman-teman sekelas. Rupanya bahasa Belanda yang saya pelajari adalah bahasa saat perang dunia! Bahasa yang saya pelajari itu tidak digunakan lagi di sana,” tutur Dwi.

Begitu beratnya masa-masa yang harus dilalui Dwi, membuat Dwi menyebut kenangannya belajar di luar negeri sebagai bad memory. Hanya karena perjuangan luar biasa dari perempuan bertubuh kecil ini, membuat ia lulus dengan predikat cumlaude. Peraih predikat tersebut hanya 3 dari 35 orang seluruh angkatannya. Ia satu-satunya perempuan peraih cumlaude.

Mental yang kuat juga benar-benar harus dimiliki perempuan saat memutuskan bersekolah lagi. Sebuah cerita tragis menimpa Nova, sebut saja demikian. Perempuan cantik dan pintar ini begitu percaya diri saat menyongsong ilmu, juga di Belgia. Namun beratnya tugas sekolah membuatnya depresi. Bahkan, ia harus berurusan dengan dokter jiwa. Shock lain ditemuinya di Indonesia, ternyata suaminya sudah menikah lagi.

Akan tetapi, kasus-kasus sedih itu hanyalah bagian kecil dari perjuangan kaum perempuan. Masih lebih banyak cerita berakhir bahagia. Imelda misalnya, ketika berangkat belum mengetahui bahwa ia sudah mulai hamil anak pertama. Ia menyadarinya ketika sudah tiba di Inggris.

“Sempat kepikiran apa saya pulang saja. Eh teman-teman kuliah men-support saya. Hamil itu kan bukan penyakit, itu anugerah. Bahkan, biaya pemeriksaan hamil untuk pelajar di sana gratis. Dukungan suami juga terasa sekali. Beberapa waktu menjelang persalinan, ia menyusul untuk mendampingi saya melahirkan,” tutur Imelda.

Ketika pulang, selain membawa ilmu yang berguna bagi pengembangan kariernya di Yayasan Bina Mandiri STISI (Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia) Bandung, Imelda membawa “bonus” bayi. “Saya beri nama Oxa, kepanjangan Oxford tea he..he..he,” kata Imelda tergelak.

Namun, jika kini disodorkan pada Imelda untuk sekolah lagi dan harus meninggalkan anaknya, Imelda berkata, “Mungkin sekarang saya berpikir ulang bila harus meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama dan sangat jauh. Keinginan untuk melanjutkan studi tetap ada. Namun saya yakin ke depan akan ada bentuk terbaik bagaimana keinginan saya bisa terwujud dengan tidak mengabaikan kebutuhan anak dan suami.”

Sedangkan, Dwi yang sudah mengambil “pelajaran” berjauhan dengan anak dan suami dalam waktu tahunan mengatakan kapok. Ketika pulang ke Indonesia, ia sedih sekali. “Kedua anak saya kurus. Di rambutnya banyak lisa (telur kutu), karena tidur dengan pembantu,” katanya.

Untungnya untuk mengambil gelar doktornya di Virginia Amerika, ia bisa melakukannya bolak-balik antara Virginia dan Indonesia. Itu bisa dilakukan karena ada dana yang cukup.

Tantangan bagi perempuan untuk bersekolah lagi di negeri seberang memang masih “luar dalam”. Namun kembali dari sana ada peluang masa depan menjanjikan. (Uci Anwar)**



0 Comments:

Post a Comment

<< Home