Forum Kebersamaan Image MDC Bintaro

Monday, September 04, 2006

Teman adalah Hadiah

Teman adalah hadiah dari yang di atas buat kita.

Seperti hadiah, ada yang bungkusnya bagus dan ada yang bungkusnya
jelek. Yang bungkusnya bagus punya wajah rupawan, atau kepribadian yang
menarik. Yang bungkusnya jelek punya wajah biasa saja, atau kepribadian yang
biasa saja, atau malah menjengkelkan.

Seperti hadiah, ada yang isinya bagus dan ada yang isinya jelek.
Yang isinya bagus punya jiwa yang begitu indah sehingga kita terpukau ketika
berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam,
saling bercerita dan menghibur, menangis bersama, dan tertawa bersama.
Kita mencintai dia dan dia mencintai kita.

Yang isinya buruk punya jiwa yang terluka. Begitu dalam luka-lukanya
sehingga jiwanya tidak mampu lagi mencintai, justru karena ia tidak
merasakan cinta dalam hidupnya. Sayangnya yang kita tangkap darinya
seringkali justru sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati,
kesombongan,
amarah, dll.

Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan mencoba menghindar
dari mereka. Kita tidak tahu bahwa itu semua BUKAN-lah karena mereka pada
dasarnya buruk, tetapi ketidakmampuan jiwanya memberikan cinta karena
justru ia membutuhkan cinta kita, membutuhkan empati kita, kesabaran dan
keberanian kita untuk mendengarkan luka-luka terdalam yang memasung jiwanya.

Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yang terluka lututnya
berlari bersama kita? Bagaimana bisa kita mengajak seseorang yang takut air
berenang bersama? Luka di lututnya dan ketakutan terhadap airlah yang mesti
disembuhkan, bukan mencaci mereka karena mereka tidak mau berlari atau
berenang bersama kita. Mereka tidak akan bilang bahwa "lutut" mereka
luka atau mereka "takut air", mereka akan bilang bahwa mereka tidak suka
berlari atau mereka akan bilang berenang itu membosankan dll. Itulah cara mereka
mempertahankan diri.

Mereka akan bilang:
"Menari itu tidak menarik"
"Tidak ada yang cocok denganku"
"Teman-temanku sudah lulus semua"
"Aku ini buruk siapa yang bakal tahan denganku"
"Kisah hidupku membosankan"

Mereka tidak akan bilang:
"Aku tidak bisa menari"
"Aku membutuhkan kamu denganku"
"Aku kesepian"
"Aku butuh diterima"
"Aku ingin didengarkan"

Mereka semua hadiah buat kita, entah bungkusnya bagus atau jelek,
entah isinya bagus atau jelek. Dan jangan tertipu oleh kemasan. Hanya ketika
kita bertemu jiwa dengan jiwa, kita tahu hadiah sesungguhnya yang sudah
disiapkanNya buat kita.


APA YANG KITA SOMBONGKAN?

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan.
Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja, ia mengangkuti air dengan
ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras.
Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya,

"Apa yang sedang Anda lakukan?"
Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba
saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan.

Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya."

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua,
yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari.

Di tingkat terbawah,
sombong disebabkan oleh faktor materi.

Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.
Di tingkat kedua,

sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan.

Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan
dibandingkan orang lain.
Di tingkat ketiga ,

sombong disebabkan oleh faktor kebaikan.

Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah,
dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula
kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun

sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi
karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan.

Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk
harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi,
begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah
berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong
tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan
waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang
kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa
kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego.

Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme
ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka).

Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan
menuju kesadaran sejati.

Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya,
ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah
makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.

Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana

untuk hidup di dunia.Kita lahir dengan tangan kosong,

dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.
Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam
kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,
label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita lihat adalah
"tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari
berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita
lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.
Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.
Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah.

Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain.

Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam
bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun
kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik
kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada
diri kita sendiri.

Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?

Be happy!

Love & Life (Jodoh dan Kedewasaan Kita)

Jodoh adalah problema serius. Kemana pun mereka melangkah, pertanyaan-pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu / bapak? Aku jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'bagian masalah', namun kemudian justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.

Di sini orang berlomba mengajukan "standarnisasi" calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas kesalehan.

Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan, "Apa salahnya?" Memang, ada juga jawaban lain, "Saya tidak pernah menuntut. Yang penting bagi saya calon yang saleh saja." Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki sifat superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria calon memang sesuai, namun kriteria tidak pernah menjadi penentu sulit atau mudahnya orang menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama ini.

Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita. Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari film-film picisan ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap untuk itu? "Tidaklah Allah membebani seseorang sesuai kesanggupannya.". Di balik fenomena "telat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah.

Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku?



Injil Yudas: Extravaganza Menjelang Paskah

Agaknya para pembenci Kristus tidak pernah
henti-hentinya mencoba menggugat kebenaran Akitab.
Mereka mencoba melakukannya melalui media seperti
buku, jurnal, ataupun film. Dan yang terakhir adalah
buku karangan Dan Brown yang berjudul The Da Vinci
Code. Mereka mencoba menyelewengkan cerita-cerita
Injil yang sebenarnya. Dan kita perlu pahami bahwa
Allah telah turut campur tangan dalam proses
penyusunan Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru.
Dan Allah memakai hamba-hamba-Nya dan bapa-bapa gereja
yang telah dipimpin-Nya untuk menentukan manakah
naskah yang benar dan yang tidak.

Saya mendapatkan berita bahwa baru-baru ini bahwa
Maecenas Foundation bekerjasama dengan National
Geographic Society dan Waitt Institute for Historical
Discovery yang berada di California, AS, telah
menerjemahkan sebuah naskah kuno yang disebut Gospel
of Judas. Bahkan mereka melakukan teleconference
dengan detikcom pada tanggal 7 April 2006 yang lalu.

Sebenarnya kalau kita mau belajar sejarah, kita akan
banyak menemukan ada injil-injil lain yang beredar,
seperti injil Barnabas, injil Petrus, injil Thomas,
injil Andreas, injil Yakobus, injil Yudas, dsb. Apakah
Petrus penulis injil Petrus, Thomas penulis injil
Thomas, atau Yudas penulis injil Yudas? Sama sekali
bukan! Injil-injil ini merupakan produk dari sekte
Gnostik, sebuah sekte pada abad mula-mula yang giat
menyebarkan ajarannya yang bertentangan dengan
pengajaran yang murni. Dalam salah satu suratnya,
Paulus menuliskan, "Tetapi aku takut, kalau-kalau
pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang
sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan
oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar
saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang
lain dari pada yang telah kami beritakan, atau
memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang
telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang
telah kamu terima" (2 Kor. 11:3, 4).

Apakah Injil Yudas?

Berdasarkan penelitian, Gospel of Judas pertama kali
ditemukan di Mesir tahun 1970 silam. Profesor Gregor
Wurst, salah seorang peneliti yang juga menjadi salah
satu editor penerjemahan naskah ini menuturkan, naskah
ini telah berpindah tangan beberapa kali dari beberapa
kolektor hingga akhirnya diakuisisi dan dimulai upaya
penerjemahannya.

Tetapi kita harus tahu juga bahwa naskah ini merupakan
produk dari gnostik, sebab isinya sama sekali berbeda
dengan Injil yang kita kenal di Alkitab. Meskipun
memang naskah ini ditulis pada tahun 180 Setelah
Masehi, namun tidak semua yang kuno berarti benar.
Bahkan salah seorang bapa gereja, St. Irenaeus,
mengatakan bahwa Injil Yudas ini adalah sesat.

National Geographic yang menerjemahkannya injil ini,
bukannya secara kebetulan mencoba meneliti dan
mempublikasikannya, sebab kita tahu bahwa novel fiksi
karangan Dan Brown, The Da Vinci Code, laris manis bak
kacang goreng, dan sebentar lagi versi filmnya akan
beredar. Semuanya ini mempunyai satu tujuan semata:
bisnis! Melalui hal-hal yang kontroversial dan
sensasional mereka mencoba meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Dan bukankah dunia ini memang suka
hal-hal yang kontroversial dan sensasional meskipun
mereka tidak peduli apakah itu fakta historis ataukah
sekedar fiksi?

Yang jelas dalam Injil Yudas, figur yang bernama Yudas
Iskariot yang kita kenal sebagai seorang pengkhianat,
karena Matius, Markus, Lukas, maupun Yohanes telah
jelas mencapnya sebagai penjual Kristus, namun anehnya
di Injil Yudas ia adalah figur yang baik dan murid
yang paling dekat dengan Yesus. Karena itulah,
kemudian Yesus memintanya mengorbankan citra dirinya
dan menyuruh Yudas menyerahkan Yesus ke tangan tentara
Romawi. Jadi seolah-olah ini adalah permainan sinetron
antara Yudas dengan Yesus supaya Yesus disalibkan dan
keselamatan tersebut sampai kepada bangsa-bangsa.

Bau Gnostik

Karakter gnostik terlihat jelas sekali di Injil itu.
Misalnya saja dalam percakapan antara Yesus dengan
Yudas dan disebutkan bahwa Yesus menggunakan kata
"aeons" (kurun waktu berabad-abad) dan "eternal realm"
(alam kekal). Di sana juga disebutkan tentang "roh
ketiga belas" dan kata ini digunakan untuk membebaskan
Yesus dan tubuh fisik-Nya supaya Dia dapat masuk ke
dalam dunia roh. Ajaran gnostik memang berpusat pada
pengetahuan yang penuh misteri dan rahasia serta
menekankan pada dualisme antara dunia materi dan roh.

Ajaran gnostik yang kental juga dilihat dalam
pernyataan di mana Yesus menyatakan rahasia
pengetahuan tentang nasib-Nya dan meminta Yudas untuk
menolongnya melepaskan diri dari tubuh fisiknya dan
supaya roh-Nya terlepas.

Ini adalah beberapa contoh bau gnostik yang sangat
menusuk hidung!

Sobat, iman Kristen tidak akan pernah digoncangkan
oleh berbagai upaya-upaya semacam ini, karena kita
tahu bahwa proses penyusunan Alkitab itu melibatkan
Allah sendiri. Dan Tuhan telah menaruh hikmat dan
pengertian kepada para penyusun Alkitab sehingga kita
sekarang ini telah mendapatkan firman Tuhan yang utuh
dan benar. Dan jika masih ada isu-isu naskah kuno yang
ditemukan dan ternyata tidak sama isinya dengan isi
Alkitab kita, maka kita akan berkata, "Orang ngetop
memang banyak gosipnya.. hehehehe!" Imanku takkan
goyah, Brur! Dan kalau toh ada publikasi Injil Yudas
ini anggaplah itu adalah extravaganza menjelang Paskah
yang akan membuat kita tertawa terpingkal-pingkal
..hahahahahahahahahahaha.!

Oleh: Handy Widiyanto

Sumber: http://salib.net

Jangan Tangisi Apa Yang Bukan Milikmu

Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali.
Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai,
kenyataan yang tidak sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah
berandai-andai ria. Pffhh...sungguh semua itu tlah hadirkan nelangsa
yang begitu menggelora dalam jiwa.

Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa
masih ada setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih
ada kekuatan untuk melangkahkan kaki mencari ilmu, mencari rejeki,
kebahagian yang akan mengantarkan pada ketentraman jiwa.

Hidup ini ibarat belantara.Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan
memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan.
Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang
kita mau bisa tercapai.

Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak
perlu kita tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak
punya satu hukum: harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang
lain.

Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua
pemberian Allah hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang.
Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal
dimensi dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan
hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang
memang bukan hak kita.

Apa yang memang menjadi bagian dari kita di dunia, entah itu Rejeki,
jabatan, kedudukan pasti akan Allah sampaikan.Tetapi apa yang memang
bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa miliki, meski ia nyaris
menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.

Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh. Kadang kita tak
sadar mendikte Allah tentang jodoh kita, bukanya meminta yang terbaik
tetapi benar-benar mendikte Allah: Pokoknya harus dia Ya Allah... harus
dia, karena aku sangat mencintainya. Seakan kita jadi yang menentukan
segalanya, kita meminta dengan paksa. Dan akhirnya kalaupun Allah
memberikanya maka tak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Allah tak
mengulurkanya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkanya dengan marah
karena niat kita yang terkotori.

Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan ini dari Allah : Maka
setelah ini wahai jiwa..., jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa
berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput darimu.

Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa
perlu didunia ini harus benar-benar perlu bila ada relevansinya dengan
harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang "baik" tidak hidup
untuk dunia tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang
sesungguhnya: hidup di akhirat kelak!

Maka sudahlah....., jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!


Sanguinis dan Melankolis: Pasangan yang Bertolak Belakang

Santoso dan Melani sudah berpacaran kurang lebih 1 tahun. Santoso sangat menyukai Melani. Santoso kagum pada Melani krn Melani seorang yg serius, mendalam, terorganisai, punya agenda harian dan skala-skala prioritas dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Melani. Melani juga menyukai Santoso. Melani kagum akan kemampuan bicaranya, Santoso yang selalu ceria dan cepat mengambil keputusan. Joke-jokenya Santoso yang menyegarkan.

Beberapa waktu kemudian, yakni 2 tahun setelah menikah, mulai kelihatan keretakan hubungan di antara mereka. Yg awalnya kagum, sekarang Santoso mulai bosan dengan daftar tugas pasangannya, sifat Melani yang suka mengkritik dan yang terlalu analitis. Begitu pula dengan Melani. Yg awalnya suka dengan kecerewetan Santoso, sekarang Melani mulai sebel melihat Santoso suka bicara sama siapa saja, panjang dan lamaaa, dan seringkali membesar-besarkan bahkan seringkali yg dibicarakannya terlalu over (tidak sesuai kenyataan). Joke-joke Santoso yg sering melecehkan Melani dan Santoso menceritakannya ke semua orang dengan enteng dan tertawa.

Apa yg terjadi? Dua pasangan yg pada awalnya sepertinya cocok, saling kagum satu sama lain; mengapa sekarang saling bertolak belakang? Apakah Santoso atau Melani berubah setelah menikah?

Tidak!!

Melani masih tetap seperti dulu, yakni masih suka membuat agenda harian, tabel-tabel, menganalisa hal2 dan membuat planning-planning. Begitu pula dgn Santoso yakni masih suka berbicara sana sini, haha hihi sana sini, ceria senantiasa, di sini senang, di sana senang, dsb..
Jadi boleh dibilang bahwa tidak ada perubahan karakter pada diri Melani & Santoso yang terlalu mencolok baik sebelum maupun sesudah menikah. Tetapi.. justru inilah yang menjadi bumerang. Ketika kedua orang tersebut tidak berusaha saling menyesuaikan, tidak saling menutupi kelemahan-kelemahan pasangannya, tidak adanya saling pengertian, akan menyebabkan retaknya suatu rumah tangga.

Ketika kekuatan menutupi kelemahan pasangan, kombinasinya sangat baik, tapi ketika kekuatan keduanya dibawa dan dipertemukan pada titik yang ekstrim, sering malah menjadi kelemahan.
Kalau pasangan ini tidak siap menghadapi kelemahan-kelemahan ini, pernikahan mereka segera nadanya menjadi sumbang. Hal yg dulu dikagumi, bisa jadi mengesalkan kalau tidak mengerti.

---

Ditinjau dari kepribadian/karakternya, Santoso bisa digolongkan ke dalam karakter SANGUINIS yang pada umumnya mempunyai:
KEKUATAN:
* Suka bicara
* Secara fisik memegang pendengar, emosional dan demonstratif
* Antusias dan ekspresif
* Ceria dan penuh rasa ingin tahu
* Hidup di masa sekarang
* Mudah berubah (banyak kegiatan / keinginan)
* Berhati tulus dan kekanak-kanakan
* Senang kumpul dan berkumpul (untuk bertemu dan bicara)
* Umumnya hebat di permukaan
* Mudah berteman dan menyukai orang lain
* Senang dengan pujian dan ingin menjadi perhatian
* Menyenangkan dan dicemburui orang lain
* Mudah memaafkan (dan tidak menyimpan dendam)
* Mengambil inisiatif/ menghindar dari hal-hal atau keadaan yang membosankan
* Menyukai hal-hal yang spontan

KELEMAHAN:
* Suara dan tertawa yang keras (terlalu keras)
* Membesar-besarkan suatu hal / kejadian
* Susah untuk diam
* Mudah ikut-ikutan atau dikendalikan oleh keadaan atau orang lain (suka nge-Gank)
* Sering minta persetujuan, termasuk hal-hal yang sepele
* RKP! (Rentang Konsentrasi Pendek)
* Dalam bekerja lebih suka bicara dan melupakan kewajiban (awalnya saja antusias)
* Mudah berubah-ubah
* Susah datang tepat waktu jam kantor
* Prioritas kegiatan kacau
* Mendominasi percakapan, suka menyela dan susah mendengarkan dengan tuntas
* Sering mengambil permasalahan orang lain, menjadi seolah-olah masalahnya
* Egoistis
* Sering berdalih dan mengulangi cerita-cerita yg sama
* Konsentrasi ke "How to spend money" daripada "How to earn/save money".


Sedangkan klo Melani bisa digolongkan ke dalam karakter MELANKOLIS yg pada umumnya mempunyai:
KEKUATAN:
* Analitis, mendalam, dan penuh pikiran
* Serius dan bertujuan, serta berorientasi jadwal
* Artistik, musikal dan kreatif (filsafat & puitis)
* Sensitif
* Mau mengorbankan diri dan idealis
* Standar tinggi dan perfeksionis
* Senang perincian/memerinci, tekun, serba tertib dan teratur (rapi)
* Hemat
* Melihat masalah dan mencari solusi pemecahan kreatif (sering terlalu kreatif)
* Kalau sudah mulai, dituntaskan.
* Berteman dengan hati-hati.
* Puas di belakang layar, menghindari perhatian.
* Mau mendengar keluhan, setia dan mengabdi
* Sangat memperhatikan orang lain

KELEMAHAN:
* Cenderung melihat masalah dari sisi negatif (murung dan tertekan)
* Mengingat yang negatif & pendendam
* Mudah merasa bersalah dan memiliki citra diri rendah
* Lebih menekankan pada cara daripada tercapainya tujuan
* Tertekan pada situasi yg tidak sempurna dan berubah-ubah
* Melewatkan banyak waktu untuk menganalisa dan merencanakan (if..if..if..)
* Standar yang terlalu tinggi sehingga sulit disenangkan
* Hidup berdasarkan definisi
* Sulit bersosialisasi
* Tukang kritik, tetapi sensitif terhadap kritik/ yg menentang dirinya
* Sulit mengungkapkan perasaan (cenderung menahan kasih sayang)
* Rasa curiga yg besar (skeptis terhadap pujian)
* Memerlukan persetujuan


Dengan semakin menyadari kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan juga kekuatan dan kelemahan pasangan, diharapkan bisa semakin mudah menjalin komunikasi yg lebih baik dan berpengertian. Dan tiap pribadi bisa mengoreksi diri sendiri dan mengembangkan karakter/kepribadian yg lebih baik.

Selamat mencoba dan berusaha! :)
"to know me & love you more"

DUA BABAK PELAJARAN TENTANG UANG

Saat rehat menikmati snack dan teh, lalu merogoh saku celana hendak
mengambil saputangan, baru saya menyadari keganjilan itu. Dompet saya tidak
ada di sana.

Mungkinkah tertinggal di mobil? Saya mengajak teman yang membawa mobil untuk
memeriksa. Sesudah tas digeledah, hasilnya nihil. Di mana ya? Di kamar
penginapan? Bukankah kami sudah mengosongkan kamar, dan mengangkut semua
barang bawaan, karena berencana langsung pulang sesudah makan siang nanti?

Ah ya, baru saya ingat. Semalam menjelang tidur, di luar kebiasaan, dompet
itu saya susupkan ke bawah bantal. Dan paginya bantal itu tak tersentuh saat
kami membereskan kamar.

Kami pun bergegas kembali ke penginapan. Isi dompet itu tak lain adalah uang
saku perjalanan kami mengikuti sidang majelis daerah sinode gereja kami.

Jumlahnya tak sampai sejuta, namun jelas saya akan kelabakan kalau benar
uang itu hilang. Belum lagi SIM dan KTP saya juga tersimpan di situ.

Sepanjang perjalanan, saya menenangkan hati. Sepertinya ada suara yang
berbisik, "Jangan mengandalkan manusia, bersandarlah kepada Tuhan." Saya
tidak tahu apakah pegawai penginapan itu cukup jujur atau culas, namun yang
pasti Tuhan itu baik.

Bagaimanapun, pikiran saya lumayan berkecamuk. Saya berusaha menepiskan
pikiran, "Kenapa aku kejatuhan sial?" Saya mencoba bersikap gagah, "Apa yang
Tuhan mau kupelajari dari peristiwa ini?"

Apakah saya mesti belajar tentang risiko keteledoran? Kok mahal amat?

Lagipula, kalau itu mata pelajarannya, saya rupanya belum lulus-lulus juga.

Banyak keteledoran yang saya lakukan, baik yang tampaknya sepele maupun yang
lumayan gawat seperti ini. Sepertinya ada suara yang menyindir, "Lalu,
seberapa murah kehati-hatian itu?"

Saya pun membayangkan konsekuensi praktis bila dompet itu betul-betul
melayang. Hm, uang sejumlah itu setara dengan honorarium menulis lebih dari
lima puluh naskah renungan harian. Dan itu berarti tertunda lagi keinginan
untuk mulai menabung. Ah, semoga saja....

Sesampai di penginapan, seorang pegawai berseragam hijau tampak sedang
lalu-lalang membereskan kamar-kamar. Begitu turun dari mobil, saya bergegas
menemuinya. "Pak, maaf, saya ketinggalan sesuatu."

Orang itu tersenyum tanggap. "O ya. Tunggu saya panggil teman saya."

Orang itu pergi, lalu tak lama kemudian muncul kembali bersama dengan
seorang rekannya. Mereka mengajak saya ke kamar. Dari rekannya itulah saya
menerima kembali dompet saya. "Tolong dihitung dulu, Pak, isinya," pinta
orang itu.

Melihat kembali dompet itu saja sebenarnya saya sudah senang. Segera saya
buka, saya hitung lembaran lima puluh ribuannya. Pas. Masih lengkap, juga
kartu-kartunya.

"Terima kasih banyak, Pak," kata saya penuh syukur. "Tuhan memberkati."

Saya bersyukur bukan hanya karena dompet itu kembali dalam keadaan utuh.

Saya bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang yang jujur, yang tidak
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Seperti bagi saya, uang sejumlah
itu tentunya lumayan berarti bagi mereka -- terlebih di tengah naiknya harga
berbagai kebutuhan sehari-hari seiring dengan melonjaknya harga BBM.

Ternyata di negeri yang kental dengan KKN ini, masih bisa dijumpai wong
cilik yang tak hendak mematikan hati nuraninya.

Saat meninggalkan Bukit Asri, penginapan kecil di Jl. Setiabudi, Semarang
atas itu, hati saya betul-betul asri.

Namun, rupanya pelajaran tentang uang pagi itu belum rampung. Sesampai di
gereja tempat acara diadakan, sedang berlangsung sidang pleno kedua. Salah
satu agendanya, pembacaan laporan keuangan oleh bendahara.

Bendahara antara lain mengingatkan komitmen dan konsistensi para pejabat
gereja dalam membayar iuran wajib, yang akan menunjang kelancaran
pelaksanaan program bersama. Selama ini pembayaran iuran tersebut bisa
dibilang tersendat. Ia juga menghimbau, pejabat yang mengalami kelimpahan
berkat materi, kiranya secara sukarela menyumbang melampaui jumlah minimal.

Ketika dibuka forum curah pendapat, sebuah masukan membuat saya tercenung.

Seorang pendeta mengutarakan isi hatinya secara blak-blakan. Karena duduk di
balkon, saya tidak dapat melihat sosok bapak ini. Namun, menilik uraiannya,
kemungkinan besar penampilannya amat bersahaja di tengah gedung gereja yang
megah ini.

Saya tidak ingat persis kata-katanya, namun pada pokoknya bapak itu
menyatakan bahwa jumlah minimal iuran yang ditetapkan oleh sidang masih
terasa memberatkan baginya. Ia mengakui, persepuluhan yang terkumpul dari
jemaatnya setiap bulan tidaklah seberapa. Kalau masih harus membayar iuran
wajib itu -- yang sebenarnya hanya senilai tiga potong lumpia -- ia akan
kesulitan membayar tagihan lainnya. Suara bapak itu tidak terdengar memelas.

Suaranya lantang, apa adanya: menandaskan sebuah fakta.

Lalu saya teringat pada kesaksian pendeta yang menyampaikan firman Tuhan
pagi tadi. Pendeta ini berasal dari sebuah pulau terpencil di wilayah timur
Indonesia. Setelah puluhan tahun melayani, ia tergolong hamba Tuhan yang
sukses dan diberkati. Suatu ketika seusai berkhotbah ia ditemui seorang
pengacara kondang. Pengacara yang juga kolektor mobil mewah ini merasa
tertempelak oleh khotbah yang baru saja didengarnya. Singkat cerita, ia
meneken selembar cek sebagai persembahan kasih bagi gereja itu. Nilainya?

Empat M.

Saya menghela napas. Bagaimana menjelaskan kesenjangan yang sedemikian lebar
ini? Kerap saya mendengar kata kunci itu: "iman" -- bahwa kelimpahan materi
berbanding lurus dengan kesalehan dan derajat iman kita. Terus terang saya
agak cemas dengan perhitungan iman secara matematis seperti itu. Patutkah
Pendeta A dinilai sebagai kontet secara rohani, sedangkan Pendeta B seorang
raksasa iman -- semata-mata karena kondisi keuangan mereka? Bagaimana pula
saya mesti menakar kadar keimanan saya sendiri?

Lebih aman rasanya memandang kondisi keuangan kita sebagai sesuatu yang
relatif netral. Entah kelimpahan entah kekurangan, masing-masing mengandung
risiko. Kemiskinan bisa membuat orang menyumpahi Tuhan, kekayaan pun bisa
membuat orang pongah dan berlagak tidak membutuhkan Tuhan. Jadi, sikap kita
terhadapnyalah -- bersyukur atau bersungut-sungut, menggunakannya secara
egois atau mengelolanya secara bertanggung jawab sebagai titipan Tuhan --
yang menentukan apakah uang itu menjadi berkat atau laknat. Bukankah begitu?

Dimuat di Sinar Harapan, Sabtu, 9 April 2005

Mengalah demi Kasih

Pada sebuah jamuan makan malam penggalangan dana untuk sekolah anak-anak cacat, ayah dari salah satu anak yang bersekolah disana menghantarkan satu pidato yang tidak mungkin dilupakan oleh mereka yang menghadiri acara itu. Setelah mengucapkan salam pembukaan, ayah tersebut mengangkat satu topik:

'Ketika tidak mengalami gangguan dari sebab-sebab eksternal, segala
proses yang terjadi dalam alam ini berjalan secara sempurna/ alami.
Namun tidak de mikian halnya dengan anakku, Shay. Dia tidak dapat
mempelajari hal-hal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain. Nah,
bagaimanakah proses alami ini berlangsung dalam diri anakku? '

Para peserta terdiam menghadapi pertanyaan itu.

Ayah tersebut melanjutkan: "Saya percaya bahwa, untuk seorang anak
seperti Shay, yang mana dia mengalami gangguan mental dan fisik sedari lahir, satu-satunya
kesempatan untuk dia mengenali alam ini berasal dari bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan dia"

Kemudian ayah tersebut menceritakan kisah berikut:
Shay dan aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman ketika beberapa orang anak sedang bermain baseball. Shay bertanya padaku,"Apakah kau pikir mereka akan membiarkanku ikut bermain?" Aku tahu bahwa kebanyakan anak-anak itu tidak akan membiarkan orang-orang seperti Shay ikut dalam tim mereka, namun aku juga tahu bahwa bila saja Shay mendapat kesempatan untuk bermain dalam tim itu, hal itu akan memberinya semacam perasaan dibutuhkan dan kepercayaan untuk diterima oleh orang-orang lain, diluar kondisi fisiknya yang cacat.

Aku mendekati salah satu anak laki-laki itu dan bertanya apakah Shay dapat ikut dal am tim mereka, dengan tidak berharap banyak. Anak itu melihat sekelilingnya dan berkata, "kami telah kalah 6 putaran dan sekaran sudah babak kedelapan. Aku rasa dia dapat ikut dalam tim kami dan kami akan mencoba untuk memasukkan dia bertanding pada babak kesembilan nanti'

Shay berjuang untuk mendekat ke dalam tim itu dan mengenakan seragam tim dengan senyum lebar, dan aku menahan air mata di mataku dan kehangatan dalam hatiku. Anak-anak tim tersebut melihat kebahagiaan seorang ayah yang gembira karena anaknya diterima bermain dalam satu tim.


Pada akhir putaran kedelapan, tim Shay mencetak beberapa s kor, namun masih ketinggalan angka. Pada putaran kesembilan, Shay mengenakan sarungnya dan bermain di sayap kanan. Walaupun tidak ada bola yang mengarah padanya, dia sangat antusias hanya karena turut serta dalam permainan tersebut dan berada dalam lapangan itu. Seringai lebar terpampang di wajahnya ketika aku melambai padanya dari kerumunan. Pada akhir putaran kesembilan, tim Shay mencetak beberapa skor lagi. Dan dengan dua angka out, kemungkinan untuk mencetak kemenangan ada di depan mata dan Shay yang terjadwal untuk menjadi pemukul berikutnya.

Pada kondisi yg spt ini, apakah mungkin mereka akan mengabaikan
kesempatan untuk menang dengan membiarkan Shay menjadi kunci kemenangan mereka?
Yang mengejutkan adalah mereka memberikan kesempatan itu pada Shay.

Semua yang hadir tahu bahwa satu pukulan adalah mustahil karena Shay bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang pemukul dengan benar, apalagi berhubungan dengan bola itu.

Yang terjadi adalah, ketika Shay melangkah maju kedalam arena, sang
pitcher, sadar bagaimana tim Shay telah mengesampingkan kemungkinan
menang mereka untuk satu momen penting dalam hidup Shay, mengambil
beberapa lang kah maju ke depan dan melempar bola itu perlahan sehingga Shay paling tidak bisa mengadakan kontak dengan bola itu. Lemparan pertama meleset; Shay mengayun tongkatnya dengan ceroboh dan luput.

Pitcher tsb kembali mengambil beberapa langkah kedepan, dan melempar
bola itu perlahan kearah Shay. Ketika bola itu datang, Shay mengayun kearah bola itu dan mengenai bola itu dengan satu pukulan perlahan kembali kearah pitcher.
Permainan seharusnya berakhir saat itu juga, pitcher tsb bisa saja
dengan mudah melempar bola ke baseman pertama, Shay akan keluar, dan permainan akan berakhir.


Sebaliknya, pitcher tsb melempar bola melewati baseman pertama, jauh dari jangkauan semua anggota tim. Penonton bersorak dan kedua tim mulai berteriak, "Shay, lari ke base satu! Lari ke base satu!". Tidak pernah dalam hidup Shay sebelumnya ia berlari sejauh itu, tapi dia berhasil melaju ke base pertama. Shay tertegun dan membelalakkan matanya.

Semua orang berteriak, "Lari ke base dua, lari ke base dua!"

Sambil menahan napasnya, Shay berlari dengan canggung ke base dua. Ia terlihat bersinar-sinar dan bersemangat dalam perjuangannya menuju base dua. Pada saat Shay menuju base dua, seorang pemain sayap kanan memegang bola itu di tangannya. Pemain itu merupakan anak terkecil dalam timnya, dan dia saat itu mempunyai kesempatan menjadi pahlawan kemenangan tim untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dapat dengan mudah melempar bola itu ke penjaga base dua. Namun pemain ini memahami maksud baik dari sang pitcher, sehingga diapun dengan tujuan yang sama melempar bola itu tinggi ke atas jauh melewati jangkauan penjaga base ketiga. Shay berlari menuju base ketiga.

Semua yang hadir berteriak, "Shay, Shay, Shay, teruskan perjuanganmu Shay"

Shay mencapai base ketiga saat seorang pe main lawan berlari ke arahnya dan memberitahu Shay arah selanjutnya yang mesti ditempuh. Pada saat Shay menyelesaikan base ketiga, para pemain dari kedua tim dan para penonton yang berdiri mulai berteriak, "Shay, larilah ke home, lari ke home!". Shay berlari ke home, menginjak balok yg ada, dan dielu-elukan bak seorang hero yang memenangkan grand slam. Dia telah memenangkan game untuk timnya.

Hari itu, kenang ayah tersebut dengan air mata yang berlinangan di wajahnya, para pemain dari kedua tim telah menghadirkan sebuah cinta yang tulus dan nilai kemanusiaan kedalam dunia.

Shay tidak dapat bertahan hingga musim panas berikut dan meninggal musim dingin itu. Sepanjang sisa hidupnya dia tidak pernah melupakan momen dimana dia telah menjadi seorang hero, bagaimana dia telah membuat ayahnya bahagia, dan bagaimana dia telah membuat ibunya menitikkan air mata bahagia akan sang pahlawan kecilnya.

Seorang bijak pernah berkata, sebuah masyarakat akan dinilai dari cara mereka memperlakukan seorang yang paling tidak beruntung diantara mereka.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home